Daán yahya

Oleh: Hasanul Rizqa

Riwayat tentang cikal bakal Arab dikaitkan dengan anak keturunan Nabi Nuh AS.

Islam bersifat universal karena ajarannya diperuntukkan bagi seluruh insan, tanpa memandang asal bangsa dan bahasa. Lebih lanjut, agama ini mengajarkan para pemeluknya agar menjadi umat yang moderat (ummatan wasathan), seperti dijelaskan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 143. “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

 

Pada mulanya, upaya mewujudkan ummatan wasathan itu terjadi di tengah masyarakat Arab. Tentu saja, hal itu berkaitan dengan fakta bahwa Nabi Muhammad SAW berasal dari bangsa Arab, khususnya Bani Quraisy. Tulisan ini akan mengulas profil kesejarahan Arab, mulai dari masa paling lampau hingga era diutusnya Rasulullah SAW.

 

Bangsa ini menghuni kawasan jazirah yang menghampar seluas 3,1 juta km persegi di Asia. Semenanjung terluas di dunia ini terletak persis di antara Afrika Timur Laut dan Anak Benua India. Nyaris seluruh wilayahnya tertutupi padang pasir dan bukit-bukit batu. Gurun terluasnya adalah Rub’ al-Khali, sedangkan puncak tertingginya berada di Jabal as-Sarat.

Jazirah Arab memiliki karakteristik iklim gurun. Tidak ada satu pun sungai mengaliri tanahnya. Penduduk setempat cenderung mengandalkan oasis atau tadahan air hujan sebagai sumber air.

 

Secara etimologis, sebutan Arab memiliki latar historis yang panjang. Menurut Jan Resto dalam The Arabs in Antiquity (2002), penggunaan kata Arab yang paling awal terdokumentasi ialah pada artefak tablet tanah liat (cuneiform) dari abad kesembilan sebelum Masehi (SM). Cuneiform itu ditulis dalam bahasa Akkadia. Isinya menceritakan penaklukan bangsa Asiria atas Aram, yakni sebuah suku bangsa berbahasa Semit Kuno di Syam.

 

Dalam artefak yang sama, disebutkan bahwa salah satu sekutu Aram ialah Suku Badui yang menghuni Jazirah Arabia di bawah pemerintahan Raja Gindibu. Dalam dokumentasi ini, merekalah yang disebut sebagai ar-ba-a-a. Raja Asiria, Shalmaneser III, diketahui mengambil seribu ekor unta dari masyarakat tersebut sebagai rampasan perang.

DOK WDL ORG

Sejak Nuh AS

Penelusuran atas kesejarahan bangsa Arab tidak hanya berkaitan dengan Nabi Ibrahim AS. Nasab mereka bahkan dapat dilacak hingga sejauh Nabi Nuh AS. Hal itu diungkapkan KH Moenawar Chalil dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW (2001).

Ia menjelaskan, Nabi Nuh memiliki tiga putra, yakni Sam, Yafits, dan Ham. Masing-masing menurunkan kelompok etnis tersendiri. Bangsa Arab, lanjut Chalil, termasuk golongan bangsa Semit yang merupakan keturunan Sam. Nama Semit pun diambil nama putra sang rasul ulul azmi. Sam bin Nuh diduga berdiam di daerah lembah Sungai Eufrat dan Tigris, Irak.

 

Dari sana, anak cucunya menyebar ke berbagai daerah sekitar. Dari masa ke masa, mereka membentuk bangsa-bangsa tertentu. Misalnya, bangsa Asiria dan Babilon di Irak; Fenisia dan Aram di Suriah; ‘Ibri di Palestina; Habsyi di Etiopia; dan akhirnya Arab di Jazirah Arab.

Orang-orang Arab berkarakteristik nomaden. Sebab, mereka menghuni kawasan luas dengan iklim gurun dan tanah tempat tinggal yang jarang dialiri sumber air berlimpah. Bangsa ini cenderung berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, mengikuti ketersediaan air dan rumput untuk pakan hewan ternaknya.

 

Menurut Chalil, sifat nomaden itu menyebabkan mereka disebut sebagai orang Arab. Perkataan arab sama artinya dengan rahlah, yang berarti ‘mengembara’.

 

Garis keturunan

Bangsa Arab menunjukkan kebanggaan pada leluhur. Wujud perasaan itu, misalnya, diungkapkan melalui tradisi menghafal nasab bapak-bapak mereka. Hal itu bahkan masih bisa dijumpai hingga saat ini.

 

Chalil menuturkan, putra Nabi Nuh AS—Sam—memiliki seorang anak yang bernaa Iram. Darinya, lahirlah banyak keturunan yang akhirnya berkelompok menjadi sembilan suku. Mereka adalah Ad, Tsamud, Amim, Amil, Thasam, Jadis, Imliq, Jurhum Ula, dan Wabaar.

Beberapa suku di antaranya menjadi masyhur karena berkaitan dengan riwayat sejumlah nabi. Misalnya, kaum Ad dan Tsamud. Kepada mereka masing-masing, Allah mengutus Nabi Hud dan Nabi Shalih. Alquran surah al-Haqqah ayat 4-6 menuturkan nasib keduanya yang sama dimusnahkan oleh Allah. Sebab, kedua kaum itu telah mendustakan dan bahkan memusuhi utusan-Nya.

Dari seluruh Jazirah Arab, bagian selatanlah yang paling subur.

Chalil mengatakan, kira-kira sembilan generasi usai Iram bin Sam lahirlah al-Muta’aribah. Tokoh bangsa Arab itu adalah keturunan Qahthan bin Nabi Hud. Ya’rib bin Qahthan menguasai Arab selatan atau Yaman. Adapun Jurhum bin Qahthan mengendalikan Hijaz. Syihr dikuasai ‘Aad bin Qahthan, sedangkan Arab Tenggara dikuasai Oman bin Qahthan—menjadi cikal bakal negeri Oman.

 

Ya’rib memiliki cicit yang bernama Abdu Syamsin. Gelarnya adalah Saba karena kemahirannya dalam memenangkan banyak pertempuran. Keturunannya kemudian mendirikan sebuah daulah di Yaman, yakni Kerajaan Saba. Alquran mengabadikan nama dan kisah negeri tersebut dalam surah ke-34, Saba.

 

Dari seluruh Jazirah Arab, bagian selatanlah yang paling subur. Ma’rib menjadi kota terbesar di Yaman dan masyhur akan bendungannya yang canggih pada masa itu.

Kemakmuran kerajaan ini disebutkan dalam surah Saba ayat ke-15. Di sebelah barat Bendungan Ma’rib, terdapat deretan pepohonan yang menghasilkan bermacam buah-buahan. Di sisi timurnya, terbentang kebun sayur-mayur beraneka jenis. Kapasitas bendungan itu juga mengagumkan. Air yang ditampungnya bisa mencukupi kebutuhan masyarakat selama beberapa musim kemarau.

 

Namun, penduduk Saba kian lama semakin melupakan agama tauhid. Azab pun ditimpakan kepada mereka. Bendungan Ma’rib jebol. Banjir besar seketika melanda nyaris seluruh kawasan Yaman, termasuk lahan-lahan pertanian yang selama ini mereka banggakan. Di kemudian hari, malapetaka ini disebut sebagai musibah Banjir Arim.

Sebagian penduduk Yaman yang selamat dari bencana tersebut pindah ke utara. Ada yang hijrah hingga ke Syam, Irak, serta negeri-negeri lain yang berdekatan. Dan, ada pula yang berhenti di kawasan Hijaz.

 

Mereka ikut merintis terbentuknya masyarakat baru di Bakkah. Hal itu dilakukannya bersama-sama dengan keluarga Nabi Ibrahim AS, khususnya Siti Hajar dan Nabi Ismail AS.

DOK ANTARA

Bermula dari Makkah

Sejarah bangsa Arab merentang sejak ribuan tahun silam. Dalam konteks histori Islam, kelompok etnis ini termasuk yang istimewa. Sebab, seperti diungkapkan dalam Alquran, Allah mengutus para nabinya kepada mereka dari masa ke masa.

 

Menurut Syauqi Abu Khalil dalam buku Atlas al-Qur’an (2006), umumnya sejarawan membagi bangsa Arab ke dalam dua kelompok besar. Keduanya adalah Arab Ba’idah dan Arab Baqiyah. Dinamakan demikian karena masing-masing memiliki nasib yang berbeda. Yang terawal itu kini telah punah (ba’idah), sedangkan yang lain masih ada.

 

Suku-suku yang termasuk dalam Arab Ba’idah antara lain adalah ‘Ad, Tsamud, dan Jurhum Ula. Mereka mula-mula hidup secara nomaden, yakni mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya di Semenanjung Arab. Polanya menjadi menetap begitu mereka mendapatkan sebidang lahan dengan ketersediaan mata air dan rumput bagi hewan ternaknya.

 

Kelompok Arab Bai’dah saat ini telah lenyap dalam peradaban. Keadaannya berbeda dengan Arab Baqiyah, yang terdiri atas dua cabang yakni Aribah dan Musta’ribah. Yang pertama itu menghuni kawasan Yaman dan disebut pula sebagai Qathan. Ada dua konfederasi persukuan yang termasuk di dalamnya, yaitu Jurhum II dan Ya’rub. Yang belakangan itu adalah leluhur Aus dan Khazraj, dua suku utama di Madinah.

 

Jebolnya Bendungan Arim mengubah drastis situasi Yaman, dari yang semula kaya dan subur menjadi papa dan gersang. Sejak saat itu, orang-orang Jurhum meninggalkan negeri tersebut dan beranjak ke arah utara. Pada waktu yang bersamaan, Nabi Ibrahim bersama dengan Siti Hajar dan Ismail kecil meninggalkan Palestina, lalu bergerak ke selatan.

 

Atas petunjuk Allah SWT, Nabi Ibrahim meninggalkan begitu saja istri dan anaknya yang masih bayi itu di sebuah kawasan bernama Bakkah. Daerah itu amat tandus dan terik. Jangankan pepohonan. Rumput liar saja tidak dapat dijumpai di sana.

 

Sesudah ditinggal suaminya, Siti Hajar mendapati bayinya kehausan. Dengan cemas, dirinya berlari-lari dari satu bukit ke bukit lainnya untuk mencari air. Atas izin Allah, di dekat kaki Ismail memancarlah air dari dalam tanah. Begitu derasnya air itu, sehingga Hajar berkata, “Zam, zam”, yang dalam bahasa Palestina berarti ‘kumpul, berkumpul.’

 

Pada saat yang sama, rombongan orang-orang Jurhum berarak tak jauh dari Bakkah. Mereka mengetahui profil Bakkah sebagai daerah yang amat kering sehingga tidak berpenghuni. Namun, ketika melewati kawasan itu mereka terheran-heran. Sebab, kawanan burung tampak terbang rendah dan berputar-putar di atas lokasi yang tidak jauh dari tempat mereka berada.

 

Adanya kerumunan burung berarti di sana terdapat sumber mata air. Setelah mengutus seseorang dari mereka, orang-onrang didapatilah kabar bahwa di sana terdapat mata air, yang ditunggui seorang perempuan dengan bayi lelakinya.

 

Orang-orang Jurhum ini kemudian meminta izin kepada Hajar agar berkenan mengizinkan mereka untuk tinggal bersamanya. Sang istri Nabi Ibrahim AS merestui keinginan mereka. Sejak saat itu

 

Lahirlah sebuah komunitas Arab “baru” di lembah Hijaz ini, yakni al-Musta’ribah.

Imbauan itu merupakan awal dari kebiasaan penduduk Makkah menyambut para jamaah haji.

Bangun Ka’bah

Kelak ketika dewasa, Ismail AS membantu ayahnya untuk membangun Ka’bah. Bangunan itu lantas menjadi pusat keagamaan para penganut tauhid, bahkan hingga detik ini. Ketika bapak dan anak itu masih hidup, ritual di sekitar Ka’bah masih berlandaskan pada ajaran syariat. Barulah sejak pepeninggalan keduanya, orang-orag Arab Musta’ribah mulai condong para paganisme.

 

Nabi Ismail berkeluarga dan memiliki 12 orang putra. Mereka menurunkan sejumlah anak cucu, yang ketika dewasa mengembara ke pelbagai daerah Jazirah Arab. Sepeninggalan Ismail, kekuasaan atas Bakkah—nama lain: Makkah—dan sekitarnya terus berada di tangan anak keturunannya selama berabad-abad.

 

Namun, kira-kira pada abad kesembilan sebelum Masehi kawasan Hijaz jatuh ke tangan Raja Babilon. Sebab, koalisi Arab saat itu kalah dalam pertempuran. Memasuki tahun 539 SM, imperium Babilonia ditaklukkan Persia yang diperintah Koresh Agung. Orang-orang Arab pun kembali menguasai Jazirah Arab meskipun tak membentuk kesatuan utuh.

 

Bani Jurhum dikalahkan oleh Bani Khuza’ah yang datang dari Yaman. Hingga dua abad lamanya, Suku Khuza’ah menguasai Hijaz dan sekitarnya. Akan tetapi, Makkah tetap di bawah kendali salah satu suku keturunan Ismail AS yang bertahan di sana. Kaum ini adalah anak-anak Fihr bin Malik.

daán yahya

Leluhur Quraisy

Kelompok etnis Arab yang merawat dan mengurus Baitullah, Ka’bah, adalah Bani Quraisy. Mereka disebut pula sebagai Bani Adnan karena merupakan keturunan Adnan bin Hanaisa. Garis nasab dari Adnan hingga Nabi Ibrahim AS adalah sebagai berikut.

 

Adnan bin Hanaisa bin Salaman bin Aus bin Bauz bin Qumwal bin Ubay bin Awwam bin Nasyid bin Haza bin Baldas bin Yadhaf bin Thabikh bin Jahim bin Nahisy bin Makhi bin Aidh bin Abqar bin Ubaid bin Da’a bin Hamdan bin Sinbar bin Yatsrib bin Yahzan bin Yalhan bin Ar’awi bin Aidh bin Daisyan bin Aishar bin Afnad bin Aiham bin Muqshir bin Nahits bin Zarih bin Sumay bin Muzay bin Iwadhah bin Iram bin Qaidar bin Nabi Ismail AS bin Nabi Ibrahim AS.

 

Adnan bin Hanaisa menurunkan banyak keturunan hingga lahirlah sosok Fihr bin Malik. Kakeknya bernama Nadhar bin Kinanah. Sang kakek diceritakan pernah menumpangi sebuah kapal besar di tengah lautan.

 

Dalam pelayaran itu, tiba-tiba seekor hiu besar muncul. Para penumpang kapal panik, tetapi putra Kinanah ini dengan gagah berani menombak hewan tersebut. Kepala ikan karnivor itu dipotong, lalu dibawanya ke Makkah. Sejak itu, Nadhar digelari al-Quraisy karena berhasil membunuh hiu yang berbahaya.

 

Fihr bin Malik bin Nadhar menurunkan banyak putra. Di antaranya adalah Ghalib, yang kemudian menjadi ayah dari Lu’ay. Dua generasi sesudahnya berturut-turut adalah Ka’ab dan putranya, Murrah. Darinya, lahir Kilab bin Murrah, yang kelak menjadi bapak kandung Zaid alias Qushay.

 

Qushay bin Kilab menikah dengan Hubayya, seorang putri bangsawan dan hartawan di Makkah. Bapak perempuan itu, Hulail, adalah pemimpin Bani Khuza’ah yang juga pemegang kunci Ka’bah. Sebelum wafat, Hulail sempat mewasiatkan agar kunci Baitullah diberikan kepada sang putrinya tercinta, Hubayya. Namun, wanita tersebut menolaknya dengan halus. Wasiat yang sama lalu diajukan kepada Mukhtarasy, putra kesayangan Hulail. Akan tetapi, yang ada darinya juga penolakan halus.

 

Akhirnya, Hulail menunjuk menantunya, yakni suami Hubayya, untuk memegang jabatan penting itu. Qushay bin Kilab bersedia mengemban amanah, asalkan semua pihak sama-sama ikhlas. Tak lama sesudah wasiat ini disanggupi, mertua Qushay tersebut pun meninggal. Sejak itu, kendali atas Baitullah kembali ke tangan Bani Adnan.

 

Fihr bin Malik menurunkan banyak anak cucu. Lima generasi sesudahnya, tampillah sosok bernama Kilab bin Murrah. M Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad menjabarkan, Kilab adalah kakek Rasulullah SAW kelima. Dirinya wafat ketika istrinya, Fathimah binti Sa'ad al-Azadiyah masih menyusukan putra mereka. Anak lelaki ini bernama Qushay.

DOK WIKIPEDIA

Sampai pada Rasul SAW

Sebuah riwayat menuturkan, Fathimah binti Sa'ad al-Azadiyah usai ditinggal wafat suaminya menikah lagi dengan Rabi'ah bin Haram. Pasangan ini lantas hijrah ke Syam (Suriah) sehingga di negeri itulah Qushay dibesarkan.

 

Bocah ini tidak menyadari bahwa Rabi'ah bukanlah bapak kandungnya. Hingga suatu saat, saudara-saudara tirinya mengejeknya dengan mengatakan, “Engkau hanyalah anak pungut!”

 

Sambil menangis sedih, Qushay pun memeluk ibunya. Fathimah lalu berkata kepada putranya itu, “Benar bahwa engkau tidak seperti mereka. Namun, ayah kandungmu lebih terhormat daripada ayah mereka. Engkau adalah keturunan Quraisy.” Perkataan ibundanya itu menguatkan hatinya. Kelak, kebanggaan sebagai wangsa Quraisy membuatnya mengimpikan agar Makkah kembali dikuasai trahnya sendiri.

 

Saat dewasa, Qushay sudah pindah ke Makkah. Ia menikah dengan seorang putri kepala Bani Khuza'ah, suku yang sedang berkuasa atas kota suci tersebut. Hulail, yakni pemimpin Suku Khuza'ah, lantas memberikan kunci Ka'bah kepada menantunya itu sebelum dirinya wafat. Walaupun wasiat dari almarhum sudah disaksikan banyak pihak, termasuk anak-anak kandungnya sendiri, bara konflik mulai terkuak. Maka sepeninggalan Hulail, terjadilah perang antara Bani Khuza'ah dan Qushay.

 

Sebelum pertempuran, Qushay sudah menggalang dukungan dari suku-suku yang menghuni sekitar Makkah, seperti Kinanah dan lain-lain. Akhirnya, aliansi yang dipimpin Qushay keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, Qushay lebih suka menggelar dialog daripada seketika memegang tampuk kekuasaan. Ia pun mengumpulkan para tokoh masyarakat dari pelbagai suku. Mereka bersepakat untuk mengangkatnya sebagai pemimpin Makkah. Dan, salah satu kebijakannya ialah membolehkan Bani Khuza'ah untuk tetap menghuni kota tersebut.

 

Shihab menuturkan, Qushay berhasil memimpin suku-suku Arab di Hijaz. Kemampuan itu sungguh luar biasa sehingga dirinya diakui sebagai tokoh pemersatu. Ia pun memperoleh kehormatan dalam pelbagai bidang, baik pemerintahan, agama, maupun kemasyarakatan. Dialah yang pertama kali menerapkan semacam pajak atas orang-orang yang mampu, lalu hasil penghimpunan uang itu diberikan kepada fakir miskin serta peziarah yang layak dibantu di Makkah.

 

Kepada rakyatnya, ia berseru, “Kalian adalah penduduk Haram (Tanah Suci) dan 'tetangga' Rumah Allah. Yang melaksanakan haji adalah tamu-tamu Allah. Mereka berkunjung ke Rumah-Nya. Mereka adalah tamu sehingga paling berhak memperoleh penghormatan. Karena itu, siapkanlah makanan dan minuman buat mereka sampai mereka kembali.”

 

Imbauan itu merupakan awal dari kebiasaan penduduk Makkah menyambut para jamaah haji. Kebiasaan menghormati para tamu Baitullah itu di kemudian hari disebut sebagai ar-Rafadah. Shihab menjelaskan, Qushay juga menyiapkan apa yang dinamakan as-Siqayah yakni pemberian air minum yang biasanya dicampur madu, kismis, dan kurma, untuk jamaah haji. Tanggung jawabnya juga meliputi pertahanan (al-Liwa'), pengawasan terhadap Ka'bah (al-Hijabah), dan pengelolaan kawasan suci tersebut.

top

Bangsa Arab

Telusur

Sejarah Mula